aLamathuR.com - Satu dua bulan terakhir jargon “I Don't Read What I Sign” menjadi ngetrend di kalangan netter, tak terkecuali di media sosial. Pemicunya tentu saja dari kasus
munculnya perpres kenaikan tunjuangan uang muka pembelian mobil pribadi pejabat
di negeri ini beberapa waktu lalu. Setelah kebijakan ini menuai kritik keras
dari tengah masyarakat dan menjadi polemik, ternyata yang terjadi kemudian,
kebijakan ini (katanya) dicabut lagi dengan dalih sewaktu tanda tangan draft tersebut tidak sempat dibaca dulu secara
teliti apa yang poin-poin yang diusulkan. Dan akhirnya katanya JKW merasa kecolongan atas tindakannya
sendiri. Sebagai pribadi, masyarakat memaklumi jika setiap orang bisa saja
berbuat khilaf dan kurang teliti. Tapi persoalannya menjadi lain ketika yang
bersangkutan adalah berada di level sebagai seorang kepala negara.
Belajar dari kasus tersebut, ada sebuah pelajaran berharga yang bisa dipetik. Istilah “I Don't Read What I Sign” sebetulnya bukan hanya dosa kepala negara saja. Contoh sehari-hari, yang paling gampang dan hampir rata-rata kita alami adalah ketika kita mengajukan kredit, baik kredit motor, kredit mobil, kredit elektronik, terkecuali kredit panci. Pada saat akad kredit, ada banyak sekali halaman dokumen yang harus diparaf atau ditandatangani. Apakah saat kita paraf kita membaca apa yang ada dalam setiap halaman dari dokumen-dokumen tersebut secara lengkap dan teliti sampai dengan paham isinya? Alasannya simple, “saya sih percaya saja sama bapak/ibu, makanya saya gak baca lagi”. WTF? padahal didalam dokumen-dokumen tersebut pastinya terdapat hal-hal yang seharusnya diketahui oleh kita sebagai debitur supaya kedepan tidak dirugikan secara sepihak.
Contoh simpel lainnya, ketika
kita kirim barang via kurir atau ekspedisi, asal tanda tangan diresi ketika
diminta. Padahal biasanya dibagian belakang resi tersebuta ada syarat dan
ketentuan terkait kebijakan yang berlaku untuk ekspedisi tersebut. Misalkan kebijakan
retur, kebijakan barang hilang dan lain-lain. Jika kemudian kita berpikir “tidak
apa-apa, toh kebijakan semua kurir rata-rata sama koq”, apakah benar kita sudah
tahu aturan mainnya secara detail? Atau ketika muncul masalah atas barang yang
kita kirim?
Contoh lain banyak. Bahkan bisa
lebih luas lagi...
Dikantor, sebagai seorang staff,
supervisor, manajer perusahaan, apakah kita selalu tanda tangan setiap dokumen
setelah membaca dan memahami isinya secara benar? Atau sekedar mengejar
deadline, asal cepat selesai?
Dikampus, sebagai seorang dosen
pembimbing skripsi, apakah kita kerap asal tanda tangan skripsi mahasiswa hanya
demi “membantu”mempermudah jalan kelulusan mahasiswa kita?
Dijalan, ketika kita sewaktu-waktu
melanggar rambu lalu lintas dan kena tilang, apakah kita membaca isi
pasal-pasal dalam surat tilang sebelum menandatangani surat tilang tersebut?
Semua jawabannya kembali kepada
diri kita sendiri. Karena kita pun sering tanpa sadar telah melakukan “I Don't Read What I Sign”.......