aLamathuR.com - Pada tulisan sebelumnya saya pernah membahas bahwa percaya diri merupakan modal dasar untuk menulis. Setelah modal dasar tersebut kita miliki, maka langkah selanjutnya adalah mengenali beberapa aspek terkait bagaimana menulis yang baik. Dari berbagai rujukan yang tersedia tentang bagaimana cara menulis yang baik, tidak sedikit tulisan yang menyarankan kepada kita untuk menulis dengan hati. Dengan melibatkan hati, maka apa yang kita tulis akan terasa lebih berenergi, natural dan sekaligus nikmat untuk dibaca. Tetapi pernahkah terpikir untuk menulis dengan hati-hati? Saya pikir baru sebagian dari kita yang telah menyadarinya.
Menulis dengan hati-hati dalam pemahaman saya berarti menulis dengan mempertimbangkan segala aspek yang terkait di dalamnya. Hati nurani, emosi, kreatifitas, kebebasan beropini, akurasi data dan fakta pendukung serta preferensi pembaca bisa menjadi aspek yang sangat diperhatikan oleh penulis maupun pembaca.
Kita sah-sah saja beranggapan bahwa menulis itu adalah sebuah ekspresi kebebasan dalam menuangkan kreativitas yang tak terbatas. Tetapi kita juga harus memahami dalam sebuah kebebasan tentu akan ada sebuah konsekuensi dan pertanggungjawaban. Karena itu berhati-hatilah dalam menulis, karena ketika pembaca benar-benar menanggapi apa yang kita tulis, maka kita harus siap dengan reaksi pro-kontra yang ditunjukkan oleh pembaca.
Jika Anda tanya bagaimana solusi agar kita bisa lebih hati-hati dalam menulis, maka saya akan memberikan kepada Anda saran sederhana seperti ini: "Kuasailah dengan baik materi/topik yang akan dibahas dalam tulisan kita. Jangan sampai menulis tentang sesuatu yang kita sendiri belum begitu memahaminya dengan baik, karena jika tidak .........." hhmmmm...
*anda boleh melanjutkan kalimat diatas dengan argumentasi masing-masing.
Betul sekali UM saya sependapat, ketika kita menulis tentunya kita harus mengetahiu dan memahami apa yang kita tulis....jadi ketika ada yang membaca dan kurang memahami yang kita tulis kita sudah siap dengan jawabannya....!!!
ReplyDeleteInspiratife sekali tulisannya...sukses selalu.
+ ChugyGogog : betul, dengan demikian apa yang kita harapkan yaitu munculnya feedback dari pembaca akan bisa optimal... apalagi ketika dalam respon2 atas tulisan tersebut tercipta sebuah diskusi dan komunikasi yang sifatnya timbal balik secara berulang antara penulis-pembaca atau pembaca-pembaca...
ReplyDeleteBetul mas Athur. "Apa yang kita tulis itulah yang akan kita tuai". Tapi ungkapn inipun juga tdk presisi di lapangan. Saya teringat ucapan seorang pemikir bahasa: Rolland Barthes. Ia mengatakan: "Sang pengarang telah mati!"
ReplyDeleteKetika sebuah tulisan kita luncurkan, maka apa yang kita maksudkan belum tentu ditangkap oleh pembaca secara akurat. Karena sadar atau tidak mereka membangun imajinasi (penafsiran) sendiri terhadap tulisan tersebut. Jadi mereka pada prinsipnya juga membuat makna baru atas tulisan tsb. Dan tulisan itu hanya sbg pemicu utk kemunculan makna yg mereka bangun.
Itulah yg ia maksudkan dg sang pengarang telah mati. Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap tulisan "mati" tsb. Pembaca akan memahaminya secara "sewenang-wenang". Lain halnya kalau kita dialog secara verbal. Kita bisa klarifikasi langsung setiap tanggapan yang muncul.
Tapi itu juga sudah sebuah resiko dalam dunia tulis menulis. Tanpa siap menghadapi itu, menurut saya, ketangkasan berpikir dan menulis sulit diraih..
Dan untunglah blogger.com menyediakan kolom komentar. Disitulah kita bisa saling dialog, saling tarik ulur untuk memahami sudut pandang masing-masing.
+ Pak Guru : benar juga dengan apa yang dipaparkan Pak Guru.. sebuah karya tulis memang bisa menjadi multitafsir ketika dihadapkan kepada pembaca yang berbeda-beda isi kepalanya.. hanya saja saya lebih menganggap hal ini kecederungannya lebih tinggi pada tulisan2 yang banyak berunsur opini dibanding fakta.. kecuali jika memang penafsiran dari definisi 'fakta' itu sendiri memang berbeda-beda.. lain lain ceritanya..
ReplyDelete